Ekosistem dan Legenda Rawa Paya Nie

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik yang tidak terpisah antara makhluk hidup dengan lingkungan. Ekosistem bisa dikatakan suatu kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi (wikipedia, 2008). Sementara rawa adalah genangan air yang terjadi di dataran yang cekung, genangan air ini dapat bersifat musiman, akibat hujan dan luapan air sungai, atau permanen akibat lokasinya yang dekat dengan sumber air.

Paya Nie atau Payau Nie merupakan hamparan rawa yang berada di dataran cekung yang dikelilingi perbukitan, genangan air di Paya Nie sendiri bersifat permanen, namun ketinggian debit air di Paya Nie sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Paya Nie terletak di Kecamatan Kuta Blang Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh.

Berdasarkan Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 7 Tahun 2013 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), luas Paya Nie mencapai 304,19 hektare. Paya Nie dikelilingi oleh tujuh desa, yaitu Desa Blang Me, Paloh Peuradi, Paloh Paya, Crueng Kumbang, Buket Dalam, Glee Putoh, dan Kulu Kuta. Paya Nie sendiri berfungsi sebagai kawasan serapan air dan sumber air untuk pertanian. Dalam Qanun RTRW Bireuen, Paya Nie direncanakan sebagai Daerah Irigasi (DI) Kewenangan Pusat seluas 3.053,28 hektar yang tersebar di Kecamatan Kuta Blang, Gandapura, Makmur dan Peusangan Siblah Krueng.

Beberapa tahun sebelumnya, Paya Nie masih berfungsi sebagai sumber air untuk mengairi sekitar 3.053,28 hektar areal sawah di Kecamatan Kuta Blang, Gandapura dan Makmur. Namun selama dua tahun terakhir, debit air di Paya Nie berkurang, sehingga warga harus menggunakan pompanisasi untuk mengairi ratusan hektar sawah yang bersumber dari DAS Peusangan.

Histori Paya Nie

Paya Nie berasal dari dua kata, Paya dan Nie. Paya dan Nie sama-sama berasaldari bahasa Aceh. Paya berarti Payau atau rawa-rawa, sementara Nie adalah nama orang atau Cut Nie. Menurut beberap sumber, Paya Nie dikisahkan tentang adanya kehidupan manusia pada masa lampau. Seorang perempuan bersama anaknya yang tinggal di sebuah daratan tinggi yang kini menjadi Pulau Nie.

Histori yang belum tentu kebenarannya ini diceritakan secara turun temurun, penulis sendiri pernah mendengarkan cerita ini dari sang Nenek pada saat penulis bourse 10 tahun. Kejadian tersebut terjadi pada saat gadis Cut Nie akan segera dipinang oleh seorang laki-laki. Hajat Cut Nie terhadap anak gadisnya itu tidak boleh turun (menginjak tanah) sebelum proses pernikahannya dilangsungkan.

Untuk menyambut hari pernikahannya, Cut Nie menjemur padi di halaman rumahnya untuk kebutuhan acara pernikahan. Karena ada keperluan, Cut Nie keluar dan meminta agar anaknya untuk menjaga jemuran padi agar tidak dimakan bebek. Bebek peliharaan Cut Nie mulai memakan padi yang telah dijemur, gadis Cut Nie berusahaan mengusir dengan menggunakan kayu, namun bebek semakin banyak dan gadis Cut Nie turun dari rumah dan menginjak tanah, seketika, hujan turun dan rumah Cut Nie tenggelah hingga menjadi Paya Nie.

Selain histori legenda di atas dan merujuk pada definisi rawa, dimana rawa merupakan genangan air yang terjadi di dataran yang cekung, genangan air ini dapat bersifat musiman, akibat hujan dan luapan air sungai, atau permanen akibat lokasinya yang dekat dengan sumber air. Penulis berasumsi, proses terbentuknya Paya Nie karena luapan air Sungai Peusangan sekitar tahun 1946. Asumsi ini penulis bangun dari jarak antara Paya Nie dengan Sungai Peusangan hanya skitter 500 meter, tepatnya di Desa Blang Me Kecamatan Kuta Blang dan sumber lain yang menyebutkan pernah terjadi luapan Sungai Peusangan. Untuk memastikan tentang proses terjadinya Paya Nie terkait luapan Sungai Peusangan, hal ini penting dilakukan penelitian lanjutan. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *